diseduh oleh: Alfian Nawawi
Kopi tidak pernah benar-benar mengalir ke dalam tiga ruang yang kita sebut budaya, ekonomi dan lifestyle, sebagai sekadar tanaman atau komoditas. Kopi punya banyak drama yang tidak tercatat, kawan.
Bebijian eksentrik itu lebih banyak disebut sebagai warisan nenek moyang yang harus dijaga dengan penuh kehormatan. Begitu bunyi narasi mainstream yang selalu kita harus pahami. Sementara kita kerap lupa bahwa narasi itu ditulis oleh penguasa dan kapitalis.
Di lembaran narasi mana kita pernah menyeduh kisah setiap tetes keringat yang menetes di ladang kopi? Terlebih lagi ladang-ladang kopi di 'dunia ketiga'.
Begitulah sehingga tidak semua cerita kopi berakhir serupa ending sinetron Indonesia. Nyaris di balik setiap cangkir kopi yang nikmat, ada tragedi yang mengiringinya sebelum tiba di hadapan kita.
![]() |
Kopi susu ala Kedai Kopi Litera |
Buku-buku tentang kopi seperti "The World Atlas of Coffee" karya James Hoffman, "God in a Cup" karya Michaele Weissman, dan "The Coffee Dictionary" karya Maxwell Colonna-Dashwood, menjadi saksi bisu perjalanan kopi dari kebun hingga ke cangkir kita.
Betapa buku-buku itu menggambarkan perjalanan yang panjang dan kompleks dari
biji kopi hingga menjadi minuman yang disukai oleh jutaan orang di seluruh
dunia.
Tapi, bagaimana kamu bisa tahu kalau baca sepotong buku saja tidak pernah?
Buku-buku ini juga memperkenalkan kita pada keanekaragaman
jenis kopi, metode pengolahan yang berbeda, dan dampak sosial-ekonomi dari
industri kopi. Mereka memberikan kita wawasan yang lebih dalam tentang apa yang
ada di balik setiap tegukan yang kita nikmati, dan mendorong kita untuk lebih
menghargai proses dan perjuangan yang ada di baliknya.
Media juga memiliki peran penting dalam
memperluas pemahaman kita tentang kopi. Dalam film dokumenter semisal "A Film About Coffee", kita
dihadapkan pada realitas pahit di balik secangkir kopi. Kita melihat bagaimana
petani kopi di negara-negara seperti Ethiopia, Kolombia, dan Brasil berjuang
untuk bertahan hidup dalam menghadapi tantangan perubahan iklim, harga yang
tidak stabil, dan kesenjangan sosial.
Di wilayah karya sastra, buku, dan media, kita
dapat memahami bahwa kopi adalah jauh lebih dari sekadar minuman yang kita
nikmati setiap hari. Ia adalah hasil dari kerja keras dan dedikasi jutaan petani kopi di seluruh dunia. Ia adalah kisah tentang kehidupan, keberanian,
dan perjuangan yang tidak boleh dilupakan.
Kopi itu adalah harmoni antara kehidupan dan seni. Ya, jika kita
menggabungkan kekuatan dan keindahan dalam setiap tetesnya. Ya, jika kita kopi sudah kita pahami sebagai kebersamaan, rasa hormat terhadap alam, dan penghargaan terhadap kerja
keras orang-orang di baliknya. Kopi adalah semangat dan inspirasi yang mampu
menghidupkan kembali tubuh dan pikiran kita.
Sejenak, bayangkan aroma kopi yang menguar dari cangkir dengan menyesap harga kemanusiaan dan kisah-kisah tragedi petani kopi di balik setiap cangkir kopi yang kita minum..
Mereka benar-benar masih banyak yang terpencil, kawan. Di balik setiap tegukan yang kita nikmati, adakah wajah petani kopi yang bergumul di musim panen? Jika tidak, pantas kamu bebal sekali hanya mau beli kopi premium yang rasanya jauh lebih hambar karena kamu juga tak paham ilmu seduhnya. Lebih hambar lagi hidupmu, menulis kalimat filosofi kopi tapi tak mau tahu perjuangan dan penderitaan orang-orang yang mengandalkan penghasilan dari biji ajaib ini.
Kopi saya kali ini cukup keras, kawan. Sekeras bebalmu!***